backpack danau toba

Op deze kaart van Indonesië hebben wij de leukste bezienswaardigheden verzameld, dit zijn volgens ons dé highlights die je niet mag missen tijdens een reis naar dit bijzondere Aziatische land! Denk bijvoorbeeld aan de populaire reisbestemming Bali, de jungle van Sumatra of de Gili eilanden ten noorden van Lombok. Gebruik de zoomknoppen aan de linkerkant van de landkaart om meer details van de kaart te bekijken. Of kies voor de Satelliet of Street View optie en bekijk de kaart van Indonesië op de manier die jij het fijnst vind. Hoogtepunten op de kaart van Indonesië Op de kaart van Indonesië zijn een aantal hoogtepunten te zien. Sulawesi Op de kaart van Indonesië valt Sulawesi als een van de grootste eilanden van Indonesië direct op. Sulawesi werd vroeger ook wel Celebes genoemd. Je vindt op Sulawesi een bijzondere natuur bestaande uit rijstvelden, vulkanen en regenwouden. Maar ook de koraalriffen en de onderwaterwereld is een reden om naar dit gebied te trekken. Bali In het midden van de kaart van Indonesië zie je het eiland Bali.
De meest bekende en populaire reisbestemming van Indonesië. Dit maakt het eiland dan ook redelijk toeristisch, maar niet minder leuk. Zo vind je er het met tempels gevulde Ubud, party plek Kuta en het rustige Lovina. Lombok Wanneer je op de kaart van Indonesië kijkt zie je naast het welbekende eiland Bali het eiland Lombok liggen. Lombok kennen de meeste mensen dankzij de vulkaan Rinjani waar je bijzondere wandeltochten kunt maken en de Gili eilanden. Maar ook Kuta op Lombok is bij vele surfers een populaire bestemming en Senggigi is ook een aanrader. Sumatra Het een na grootste eiland van Indonesië is Sumatra, hier vind je net als op andere eilanden indrukwekkende natuur. Zo zijn er paradijselijke stranden te vinden, maar ook een jungle waar je orang oetan's tegen kunt komen. Daarnaast vind je hier Danau Toba, het diepste meer ter wereld. Gili’s Wie van feestjes houdt of juist van verlaten stranden, kan op de Gili eilanden van Indonesië meer dan goed terecht. De Gili's zijn klein, dus op een kaart van Indonesië zul je ze niet gelijk spotten, maar deze paradijselijke eilandjes vind je ten Noorden van het eiland Lombok.
De Gili eilanden Gili Meno, Gili Air en Gili Trawangan zijn het meest bekend. Java Op het eiland Java vinden we de hoofdstad Jakarta en een van de mooiste tempels van Indonesië: de Borobudur. backpack for cpap and laptopDe Borobudur is een grote boeddhistische tempel die je vindt in het midden van Java. akku backpack goproDeze tempel wordt veelal als een van de zeven wereldwonderen genoemd.longchamp backpack dupe Jouw reistips op de kaart van Indonesië?solo 475 backpack sprayer troubleshooting Ben jij ergens in Indonesië geweest waar het overdonderend mooi was en zijn wij deze ultieme reisbestemming vergeten op onze kaart? nafta backpack
Laat het ons weten in een reactie en we plaatsen jouw reistip op deze kaart van Indonesië! Tidak jauh dari Angkor Wat di Cambodia, terletak sebuah danau raksasa bernama Tonle Sap. psychonauts backpackDi musim kemarau saja, danau ini seluas dua kali Danau Toba, yang merupakan danau terluas di Indonesia. kazu backpackAir naik, badan danau membengkak hingga lima kali lipatnya, menjadi sebuah danau maha luas seukuran tiga kali Pulau Bali! Karena luasnya ini, tak heran kalau jumlah terbesar ular air tawar di Asia Tenggara terdapat di sini. Danau ini juga menjadi rumah bagi Mekong giant catfish, ikan air tawar terbesar di dunia yang panjangnya bisa mencapai 3 meter, juga buaya Siam yang kini hampir punah di alam bebas. Namun Tonle Sap bukan hanya rumah untuk buaya siam, lele raksasa, ular air dan spesies-spesies akuatik lainnya.
Tonle Sap juga rumah bagi ratusan ribu manusia yang hidup di perkampungan terapung di atasnya. Siang hari itu kami memutuskan untuk meninjau perkampungan terapung* itu. Dari sekian banyak perkampungan terapung di Tonle Sap, Kampong Phluk adalah yang paling terkenal bagi para turis. Kecantikan dan keunikan perumahan terapung dan hutan terapungnya, digabungkan dengan letaknya yang hanya 1 jam berkendara tuktuk saja dari Siem Reap, menjadikan Kampung Phluk ini menjadi sasaran wisata ideal. Namun sayangnya, kami mendengar berbagai komentar negatif dari orang-orang yang pernah mengunjunginya. Preman-preman menipu turis dengan kedok donasi untuk kesejahteraan rakyat setempat yang miskin. Interaksi dengan orang lokal pun sulit berlangsung secara alami, saat turis hanya dipandang sebagai kantung uang. Anak-anak kecil mengelilingi para turis dan menyapa tidak dengan “hello” atau “susdai” (hello dalam bahasa Khmer), melainkan dengan sapaan “one dollar, one dollar”.* Kami bukan sekedar ingin melihat kecantikan desa apung.
Kami ingin meninjau kehidupan mereka yang sesungguhnya. Kami pun memutuskan untuk pergi ke Kampong Khleang yang jaraknya 2 kali lipat. Dengan harapan bahwa kampung ini belum dikomersialisasikan untuk wisata, sehingga kami bisa melihat kehidupan rakyat di atas danau apa adanya. Setelah lebih dari 2 jam perjalanan, tuktuk berhenti di sebuah dermaga kecil. Mereka minta harga 30 dolar per orang untuk sightseeing boat trip selama 1 jam. Harga yang untuk ukuran wisata di Eropa dan Amerika pun sudah termasuk mahal. Karena sepi, mereka menurunkan harga hingga $25 per orang. Pasti ada alternatif lain. Ini hanya dermaga untuk turis saja. Di mana kapal masyarakat lokal berlabuh? Di mana kah Kampong Khleang -nya sendiri? Dari tadi kami belum lihat. Apakah ada akses darat ke kampung tersebut? Apakah tuktuk kami bisa ke sana? Ataukah kampung tersebut telah terendam air danau sehingga hanya bisa dicapai oleh kapal? Namun tak mungkin kan, jika yang ada hanya dermaga turis, tak ada kehidupan orang lokal.
Pastinya ada pemukiman rakyat di dekat sini. Atau jika desanya memang nun jauh di danau, meskipun akses jalanan darat telah terendam, pasti lah ada dermaga – sesederhana apa pun – untuk orang lokal. Dan lagi, jalanan masih belum terputus air. Kami minta pak tuktuk kami untuk meneruskan perjalanan, mencari kampung yang dimaksud. Dan ia menolak keras! Ia bersikeras bahwa ini adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Naik kapal turis seharga $30 per orang. Tidak ada transportasi lain, tak ada transportasi lokal ke desa, tak ada jalan darat ke desa. Kami menunjuk ke arah jalan. Bagaimana kalau meneruskan perjalanan? Dia bersikeras tidak akan menyetir lebih jauh dari dermaga ini. Sementara kami melihat berbagai kendaraan melewat. Tentunya, ada sesuatu di sana. Pak tuktuk ngotot tak mau. Akhirnya kami mengerti: Ia tak ingin komisi dari kapal sightseeing turis melayang. Akhirnya ia bersedia mengantar kami jika kami membayar $5 ekstra. Dengan alasan desanya sangat jauh.
Ia tak mau ditawar, dan kami pun akhirnya setuju. Ternyata pak tuktuk bohong. Jarak jauh ekstra $5 itu ternyata tidak sampai 3 menit dengan tuktuk! Jalan kaki pun sebenarnya bisa. Hanya saja kami tak tahu kalau bakal sedekat itu. Tadi juga tak ada seorang pun yang bisa ditanya. Percuma, semua orang berusaha keras menaikkan kami ke kapal turis $30.$5 yang pak tuktuk minta sebenarnya bukan untuk bahan bakar dan waktu ekstra, namun untuk menutupi komisi yang tak jadi ia dapatkan dari dermaga kapal turis! Namun tak apa lah, karena tujuan kami semula, mengunjungi sebuah desa terapung dengan kehidupan yang masih autentik, terpenuhi. And that’s where the magic began! How to get there? 1. Dari Siem Reap ke Kampong Khleang bisa naik tuktuk. Kami dapat harga $18 pp + tunggu. 2. Kalau kalian ingin ke Kampong Khleang, mungkin harus ngotot ke pak tuktuk-nya. Kalau nggak, dibawa ke Kampong Phluk. 3. Waktu perjalanan 2-3 jam one way. 4. Tuktuk akan mengantar ke dermaga turis, di mana tersedia sighseeing boat tour untuk turis ($25-30 per orang).